BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Berbahasa, dalam arti berkomunikasi, dimulai dengan membuat enkode
semantik dan enkode gramatikal di dalam otak pembicara, dilanjutkan dengan
membuat enkode fonologi. Dengan kata lain, berbahasa adalah penyampaian pikiran
atau perasaan dari orang yang berbicara mengenai masalah yang dihadapi dalam
kehidupan budayannya.
Bahasa memang merupakan objek kajian dari berbagai disiplin. Namun,
dari disiplin linguistik itu sendiri dapat dicermati adannya berbagai teori
atau aliran linguistik yang terkadang berbeda, tumpang tindih, maupun
bertentangan.
Sebenarnya telah banyak teori
pembelajaran yang telah diperkirakan oleh para ahli psikologi dalam usaha
mereka untuk membantu agar konsep pembelajaran lebih dipahami orang. Jika
konsep pembelajaran ini sudah lebih dipahami, maka kaidah-kaidah pembelajaran
bahasa maupun pembelajaran mata pelajaran lain akan dapat disempurnakan lagi.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Jelaskan
Makna Teori
2.
Jelaskan
mengenai teori behaviorisme
3.
Jelaskan
mengenai teori kognitivisme
4.
Jelaskan
mengenai teori konstruktivisme
5.
Jelaskan
mengenai teori perkembangan bahasa anak
C.
TUJUAN PENULISAN
1.
Untuk
mengetahui makna teori
2.
Untuk
mengetahui teori behaviorisme
3.
Untuk
mengetahui teori kognitivisme
4.
Untuk
mengetahui teori konstruktivisme
5.
Untuk
mengetahui teori perkembangan bahasa anak
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Makna Teori
Sebelum
berbincang tentang teori-teori pokok belajar, tentunya perlu penyamaan persepsi
kita tentang makna teori. Secara ringkas Dorin, Demmin dan Gabel ( 1990 ) dan
juga Smith(2009:79) menyatakan bahwa karakteristik teori adalah sebagai
berikut: teori adalah sebuah penjelasan umum tentang berbagai pengamatan yang
dibuat dengan berjalannya waktu, teori menjelaskan dan meramalkan timbulnya
perilaku, suatu teori tidak dapat dibangun diatas keragu-raguan, dan suatu
teori dapat diubah, dimodifikasi.
Kerlinger
(1989) menyatakan bahwa teori adalah suatu himpunan dari kontruk-kontruk
(konsep-konsep), definisi-definisi dan proposisi-proposisi yang saling
berkaitan dan menyatakan suatu pandangan yang sistematis tentang suatu fenomena
dengan cara menentukan hubungan antar variabel, dengan tujuan menjelaskan
fenomena tersebut.
Adapun
didefinisikan bahwa teori adalah konsep atau pandangan khusus tentang sesuatu
yang harus dikerjakan atau metode untuk melaksanakan sesuatu, suatu sistem yang
tersusun dari sejumlah hukum-hukum dan prinsip-prinsip. Dalam konsep
pembelajaran, Bruner membedakan antara teori pembelajaran (intruction theory),
dan teori belajar (learning theory). Dalam hal ini pembelajaran semakna
dengan pengajaran.[1]
B.
Teori Behaviorisme
Menurut
teori belajar behaviorisme atau aliran tingkah laku, belajar diartikan sebagai
proses perubahan tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan
respons. Belajar menurut psikologi behavioristik adalah suatu kontrol
instrumental yang berasal dari lingkungan. Belajar tidaknya seseorang
bergantung pada faktor-faktor kondisional diberikan lingkungan. [2]
Ada
beberapa ciri dari rumpun teori ini, yaitu: (1) mengutamakan unsur-unsur atau bagian-bagian
kecil, (2) bersifat mekanistis, (3) menekankan peranan lingkungan, (4)
mementingkan pembentukan respon, (5) menekankan pentingnya latihan.
Pembelajaran behaviorisme bersifat molekuler; artinya lebih menekankan
kepada elemen-elemen pembelajaran, memandnag kehidupan individu terdiri dari
unsut-unsur seperti halnya molekul.
Adapun ciri-ciri teori belajar
behavioristik yang dikemukakan oleh John Locke adalah lebih mementingkan
pengaruh lingkungan, mementingkan bagian-bagian, mementingkan peranan reaksi
(respons), mementingkan mekanisme terbentuknya hasil belajar. Bertolak dari
pandangan John Locke tersebut, pendekatan belajar kemudian menjadi
behavioristik elementaritis atau pendekatan belajar behavioristik-empiris.
Pendekatan teori belajar behavioristik elementaristis menganggap bahwa jika
manusia itu pasif dan dikuasai oleh stimulus-stimulus dari luar yang ada
dilingkungan sekitar. Tingkah laku manusia dapat dimanipulasi dan dikendalikan dengan
mengendalikan perangsang-perangsang yang ada dalam lingkungannya. Tingkah laku
tergantung pada lingkungan. Artinya, jika lingkungan berubah tingkah laku
individu juga akan berubah.[3]
Behaviorisme
merupakan aliran psikologi yang memandang individu lebih kepada sisi fenomena
jasmaniah, dan mengabaikan aspek-aspek mental seperti kecerdasan, bakat, minat
dan perasaan individu dalam kegiatan belajar. Hal ini dapat dimaklumi karena
behaviorisme berkembang melalui suatu penelitian yang melibatkan binatang seperti
burung merpati, kucing, tikus dan anjing sebagai objek.
Para
ahli behaviorisme berpendapat bahwa belajar adalah perubahan tingkah laku
sebagai hasil dari pengalaman. Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara
stimulus (S) dengan respon (R). Meurut teori ini, dalam belajar yang penting
adalah adannya input berupa stimulus dan output yang berupa
respon.
Secara
umum konsep belajar menurut para behavioris dapat dinyatakan dengan gambaran
sederhana seperti yang dinyatakan oleh DiVesta dan Thompson (1979:11) sebagai
berikut.[4]
Perilaku/pribadi sebelum belajar (pre-learning)
|
Pengalaman, praktik, latihan (learning experiences)
|
Perilaku/pribadi sesudah belajar (post-learning)
|
Beberapa ilmuwan yang termasuk pendiri
seklaigus penganut behavoristik antara lain adalah Thorndike, Watson, Hull,
Guthrie, dan Skinner. Thorndike mengemukakan bahwa belajar adalah proses
interaksi antara stimulus (yang mungkin berupa pikiran, perasaan, atau gerakan)
dan respon (yang juga bisa berbentuk pikiran, perasaan,atau gerakan). Dari
pengertian ini, wujud tingkah laku tersebut bisa saja dapat diamati ataupun
tidak dapat diamati. Teori belajar Thorndike juga disebut sebagai aliran “connectionism”.
Menurut Thorndike, belajar dpaat dilakukan dengan mencoba-coba (trial and
error).
Karakter belajar ”trial and error”
adalah sebagai berikut.
1.
Adanya
motif pada diri seseorang yang mendorong untuk melakukan sesuatu
2.
Seseorang
berusaha melakukan berbagai macam respons dalam rangka memenuhi motif-motifnya
3.
Respons-respons
yang dirasakan tidak bersesuaian dengan motifnya dihilangkan
4.
Akhirnya
seesorang mendapatkan jenis respons yang paling tepat.
Thorndike juga mengemukakan beberapa
hukum tentang belajar sebagai berikut.
1.
Hukum
Kesiapan (law of readiness)
2.
Hukum
Latihan (Law of Exercise )
3.
Hukum
Akibat (law of effect) [5]
Sementara itu para ahli psikologi pendidikan sepakat bahwa
pembelajaran menurut konsep behaviorisme berlangsung dengan tiga langkah pokok,
yaitu:
1.
Tahap
akuisisi, tahap perolehan pengetahuan.
2.
Tahap
retensi, dalam tahap ini informasi atau keterampilan baru yang dipelajari
dipraktikan sehingga siswa dapat mengingatnya selama suatu periode waktu
tertentu.
3.
Tahap
transfer. [6]
Teori behavioristik ini dalam perkembangannya mendpaat kritik dari
para teoretisi dan praktisi pendiidkan. Menurut para pengkritik teori
behavioristik ini tidak mampu menjelaskan situais belajar yang komplek, sebab
banyak hal di dunia pendiidkan yang tidak dapat diubah menjadi sekedar hubungan
stimulus respon. Tidak selalu stimulus mampu mempertahankan motivasi belajar
seesorang. Kritik juga diarahkan pada kelemahan teoriini yang mengarahkan
berfikir linier, konvergen, dan kurang kreatif, termausk masalah shaping
(pembentukan) yang cenderung membatasi keleluasaan untuk berfikir dan
berimajinasi.[7]
C.
Teori Kognitivisme
Istilah
kognitif sendiri walau banyak dipopulerkan oleh Piaget dengan teori
perkembangan kognitifnya, sebenarnya telah dikembangkan oleh Wilhem Wundt (
Bapak Psikologi ). Menurut Wundt kognitif adalah sebuah proses aktif dan
kreatif yang bertujuan membangun struktur melalui pengalaman-pengalaman. Wundt
percaya bahwa pikiran adalah hasil kreasi para siswa yang aktif dan kreatif
yang kemudian disimpan di dalam memori (DiVesta, 1987).
Sesungguhnya
kognitivisme lahir merupakan respon terhadap behaviorisme, diawali oleh
publikasi pada tahun 1929 oleh Bode, seorang ahli psikologi Gestalt. Ia
mengkritik behaviorisme karena kebergantungan kepada perilaku yang diamati
untuk menjelaskan pembelajaran. Pandangan gestalt tentang belajar dinyatakan
dalam konsep pembelajaran yang disebut teori kognitif.
Dua
kunci pendekatan kognitif adalah, (i) bahwa sistem ingatan adalah suatu
prosesor informasi yang aktif dan terorganisasi, (ii) bahwa pengetahuan awal
memerankan peranan penting dalam pembelajaran. Teori kognitif mencermati
hal-hal dibalik perilaku untuk menjelaskan pembelajaran berbasis otak (brain-based
learning).[8]
Teori
ini lebih menakankan proses belajar daripada hasil belajar. Bagi penganut
aliran kognitivivtik belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus
dan respons. Lebih dari itu belajar adalah melibatkan proses berfikir yang
sangat kompleks. Menurut teori kognitivistik, ilmu pengetahuan dibangun dalma
diri seesorang melalui proses interaksi yang berkesinambungan dengan
lingkungan. Proses ini tidak berjalan terpatah-patah, terpisah-pisah, tapi
melalui proses yang mengalir, bersambung-sambung, menyeluruh. Ibarat seesorang
yang memainkan musik, tidak hanya memahami not-not balok pada partitur sebagai
informasi yang saling lepas dan berdiri sendiri, tapi sebagai suatu kesatuan
yang secara utuh mausk ke dalam ikiran dan perasaannya.
Menurut
psikologi kognitif, belajar dipandang sebagai suatu usaha untuk mengerti
ssuatu. Usaha itu dilakukan secara aktif oleh siswa. Keaktifan itu dapat berupa
mencari pengalaman, mencari informasi, memecahkan masalah, mencermati
lingkungan, mempraktikkan sesuatu untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Para
psikolog kognitif berkeyakinan bahwa pengetahuan yang dimiliki sebelumnya
sangat menentukan keberhasilan mempelajari informasi / pengetahuan yang baru.[9]
Penting
untuk dipahami bahwa dua pemikiran pokok dari kognitivisme adalah teori
pemrosesan informasi dan teori skema.
1.
Teori
Pemrosesan Informasi
Para
ahli psikologi kognitif mengemukakan suatu kerangka teoretis yang dikenal
dengan model pemrosesan informasi. Dalam model ini peristiwa-peristiwa mental
diuraikan sebagai transformasi-transformasi informasi dari input
(stimulus) ke output (respons).[10]
Menurut
pendapat kohnitif, dalam kaitan teori pemrosesan informasi, unsur terpenting
dalam proses belajar adalah pengetahuan yang dimiliki setiap individu sesuai
dengan situasi belajarnya. Perspektif kognitif membagi jenis pengetahuan
menjadi tiga, yaitu pengetahuan deklaratif, prosedural, dan kondisional.
Dalam
konteks kognitivisme yang dianggap pengembang pemrosesan informasi justru
Robert M. Gagne, yang kemudian dikembangkan oleh George Miller. Menurut Gagne,
dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi yang selanjutnya diolah
sehingga menghaislkan keluaran hasil belajar.[11]
Salah
satu teori belajar yang berasal dari psikologi kognitif adalah teori pemrosesan
informasi, yang dikemukakan Gagne. Menurut teori ini, belajar dipandang sebagai
proses pengolahan informasi dalam otak manusia. Sedangkan pengolahan otak
manusia sendiri dapat dijelaskan sebagai berikut.
a.
Receptor (alat-alat indra) menerima rangsangan dari lingkungan dan
mengubahnya menjadi rangsangan neural, memberikan simbol-simbol informasi yang
diterimanya dan diteruskan kepala.
b.
Sensory
register (penampungan kesan-kesan sensori)
yang terdapat pada syaraf pusat, fungsinya menampung kesan-kesan sensori dan
mengadakan seleksi, sehingga terbentuk suatu kebulatan perseptual (persepsi
selektif).
c.
Short-term
memory (memori jangkan pendek) menampung
hasil pengolahan perseptual dan menyimpannya.
d.
Long-term
memory (memori jangka panjang), menampung
haisl pengolahan yang ada di memori jangka pendek.
e.
Response
Generator (pencipta respon), menampung
informasi yang tersimpan dalam memori jangka panjang dan mengubanya menjadi
reaksi jawaban.[12]
Model
pengolahan informasi merupakan model dalam teori belajar yang mencoba
menjelaskan kerja memori manusia yang meliputi tiga macam sistem penyimpanan
ingatan, yaitu :
a.
Memori
jangka pendek (sensory memory/short term memory)
b.
Memori
kerja (working memory)
c.
Memori
jangka panjang (long term memory)
Proses
pengolahan informasi berlangsung dalma tiga tahap. Tahap pertama yaitu
pengolahan informasi dalam sensor pencatat (sensory register, sensory
memory, sensory registry), kmeudian diproses dalam memori jangka pendek,
selanjutnya ditransfer menuju memori jangka panjang untuk disimpan dan sewaktu
diperlukan dipanggil kembali.
2.
Teori
Skema
Skema
adalah suatuproses atau cara mengorganisasikan dan merespon berbagai pengalaman
belajar. Dengan kata lain, skema adalah suatu pola sistematis dari tindakan,
perilaku, pikiran, dan strategi pemecahan masalah yang memberikan suatu
kerangka pemikiran dalam menghadapi berbagai tantangan dan berbagai jenis
situasi. Skemata menyatakan pengetahuan tentang konsep, yaitu objek dan
hubungannya dengan: objek yang lain, dengan situasi, dengan kejadina-kejadian,
urutan kejadian, tindakan, dan serangkaian tindakan.
Terkait
dengan efek skema (schema ffects) dalam pembelajaran, serta kaitan teori
skema dengan teori pengolahan informasi, Gagne dan juga Dick, dalam Hilgard dan
Brower (1975) dan Brewer (1987) menyatakan:
a.
Informasi
baru yang dipelajari disimpan dengan menjalinnya dalam suatu skema yang
pembentukannya dilandasi informasi dari pembelajaran terdahulu
b.
Pengingkatan
terhadap informasi verbal yang lama dan telah dipelajari kuat sekali
dipengaruhi oleh skema ini, sehingga proses pengingatan adalah suatu kegiatan
konstruktif
c.
Skema
tidak hanya membantu retensi, pengingatan, terhadap materi baru dnegan cara
menyediakan bingkai kerja untuk penyimpanannya, tetapi juga mengubah informasi
baru dengan cara membuatnya coock dengan harapan-harapan yang dibangun di dalam
skema
d.
Skema
diorganisasikan sebagai komponen-komponen keterampilan intelektual
e.
Secara
ideal pembelajar akan mampu mengolah informasi bari dengan cara mengevaluasi
atau melakukan modifikasi terhadap skema miliknya. [13]
D.
Teori Kontruktivisme
Teori
konstruktivistik memahami belajar sebagai proses pembentukan (konstruksi)
pengetahuan oleh si belajar itu sendiri. Pengetahuan ada di dalma diri
seseorang yang sedang mengetahui. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu
saja dari otak seseorang guru kepada orang lain (siswa). [14]
Konstruktivisme
melandasi pemikiran bahwa pengetahuan bukanlah sesuatu yang given dari
alam karena hasil kontak manusia dengan alam, tetapi pengetahuan merupakan
hasil konstruksi (bentukan) aktif manusia itu sendiri. Pengetahuan bukanlah
suatu tiruan dari kenyataan (realitas). Pengetahuan bukanlah gambaran dari
dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan selalu merupakan akibat dari suatu
konstruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan seseorang. Ia membentuk skema,
kategori, konsep dan struktur pengetahuan yang diperoleh untuk pengetahuan
(Bettencourt, 1989 dalam Suparno, 1997:18).
Asumsi-asumsi
dasar dari konstruktivisme seperti yang diungkapkan oleh Merril (1991) adalah
sebagai berikut:
1.
Pengetahuan
dikonstruksikan melalui pengalaman
2.
Belajar
adalah penafsiran personal tentang dunia nyata
3.
Belajar
adalah sebuah proses aktif di mana makna dikembangkan berlandaskan pengalaman
4.
Pertumbuhan
konseptual berasal dari negosiasi makna, saling berbagi tentang perspektif
ganda dan pengubahan representasi mental melalui pembelajaran kolaboratif
5.
Belajar
dapat dilakukan dalam setting nyata, ujian dapat diintegrasikan dengan
tugas-tugas dan tidak merupakan aktivitas yang terpisah (penilaian autentik).[15]
Glaserfeld, Bettencourt (1989) dan Matthews (1994), mengemukakan
bahwa pengetahuan yang dimiliki seseorang merupakan hasil konstruksi (bentukan)
orang itu sendiri. Sementara Piaget (1971), mengemukakan bahwa pengetahuan
merupakan ciptaan manusia yang dikonstruksikan dari pengalamannya, proses
pembentukan berjalan terus menerus dan setiap kali terjadi rekonstruksi karena
adannya pemahaman yang baru.
Untuk memahami lebih dalam tentang aliran konstruktivistik ini, ada
baiknya dikemukakan tentang ciri-ciri belajar berbasis konstruktivistik.
Ciri-ciri tersebut pernah dikemukakan oleh Driver dan Oldham (1994), ciri-ciri
yang dimaksud adalah orientasi, elisitasi, restrukturasi ide, penggunaan ide
baru dalam berbagai situasi, review.
Von Glaserfeld (dalam paul, 1996), mengemukakan bahwa ada beberapa
kemampuan yang diperlukan dalam proses mengkontruksi pengetahuan, yaitu: (i)
kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman, (ii) kemampuan
membandingkan dan mengambil keputusan mengenai persamaan dan perbedaan tentang
sesuatu hal, dan (iii) kemampuan untuk lebih menyukai suatu pengalaman yang
satu dari pada yang lain (selective conscience). Sementara faktor-faktor
yang membatasi proses konstruksi pengetahuan adalah hasil konstruksi yang telah
dimiliki seseorang, domain pengalaman seesorang, dan jaringan struktur kognitif
seseorang.
Menurut pandangan konstruktivisme, belajar merupakan suatu proses
pembentukan pengetahuan. Pembentukan ini harus dilakukan oleh siswa. Ia harus
aktif melakukan kegiatan, aktif berpikir, menyusun konsep dan memberi makna
tentang hal-hal yang sedang dipelajari, tetapi yang paling menentukan
terwujudnya gejala belajar adalah niat belajar siswa itu sendiri, sementara
peranan guru dalam belajar konstruksivistik berperan membantu agar proses
pengkonstruksian pengetahuan oleh siswa berjalan lancar. Guru tidak
menstransferkan pengetahuan yang telah dimilikinya, melainkan membntu siswa
untuk membentuk pengetahuannya sendiri dan dituntut untuk lebih memahami jalan
pikiran atau cara pandang siswa dalam belajar.[16]
E.
Teori Perkembangan Bahasa Anak
1.
Pandangan
Nativisme
Nativisme
berpendapat bahwa selama proses memperolehan bahasa pertama, kanak-kanak
(manusia) sedikit demi sedikit membuka kemampuan lingualnya yang secara genetis
telah diprogramkan. Pandangan ini tidak menganggap lingkungan punya pengaruh
dalam pemerolehan bahasa, melainkan menganggap bahwa bahasa merupaakan
pemberian biologis, sejalan,dengan yang disebut “hipotesis pemberian alam”.
Kaum
nativis berpendapat bahwa bahasa itu terlalu kompleks dan rumit, sehingga
mustahil dapat dipelajari dalam waktu singkat melalui metode seperti
“peniruan”. Jadi pasti ada beberapa aspek penting mengenai sistem bahasa yang
sudah ada pada manusia secara alamiah.
2.
Pandangan
Behaviorisme
Kaum
behavioris menekankan bahwa proses pemerolehan bahasa pertama dikendalikan dari
luar diri si anak, yaitu oleh rangsangan yang diberikan melalui lingkungan. Istilah
bahasa bagi kaum behavioris dianggap kurang tepat karena istilah bahasa itu
menyiratkan suatu wujud, sesuatu yang dimiliki
atau digunakan, dan bukan sesuatu yang dilakukan. Padahal bahasa
merupakan salah satu perilaku, diantara perilaku-perilaku manusia lainya. Oleh
karena itu, mereka lebih suka menggunakan istilah perilaku verbal, agar tampak
lebih mirip dengan perilaku lain yang harus dipelajari.
3.
Pandangan
Kognitivisme
Jean
Piaget (1954) menyatakan bahwa bahasa itu bukanlah suatu alamiah yang terpisah,
melainkan salah satu di antara beberapa kemampuan yang berasal dari kematangan
kogntitif. Bahasa distrukturi oleh nalar; maka perkembangan bahasa harus berlandas
pada perubahan yang lebih mendasar dan lebih umum di dalam kognisi. Jadi,
urut-urutan perkembangan kognitif menentukan urutan perkembangan bahasa.
Kalau
Chomsky berpendapat bahwa lingkungan tidak besar pengaruhnya pada proses
pematangan bahasa, maka Piaget berpendapat bahwa lingkungan juga tidak besar
pengaruhnya terhadap perkembangan intelektual anak. Perubahan atau perkembangan
intelektual anak sangat tergantung pada keterlibatan anak secara aktif dengan
lingkungannya.
Perkembangan
bahasa, baik menurut pandanagn nativisme, behavirisme, dan
kognitivisme, tidak terlepas atau berkaitan dengan perkembangan-perkembangan
lain yang dialami anak.[17]
BAB III
KESIMPULAN
Adapun didefinisikan bahwa teori adalah konsep atau pandangan
khusus tentang sesuatu yang harus dikerjakan atau metode untuk melaksanakan
sesuatu, suatu sistem yang tersusun dari sejumlah hukum-hukum dan
prinsip-prinsip.
Menurut teori belajar behaviorisme atau aliran tingkah laku,
belajar diartikan sebagai proses perubahan tingkah laku sebagai akibat dari
interaksi antara stimulus dan respons. Belajar menurut psikologi behavioristik
adalah suatu kontrol instrumental yang berasal dari lingkungan.
Istilah kognitif sendiri walau banyak dipopulerkan oleh Piaget
dengan teori perkembangan kognitifnya, sebenarnya telah dikembangkan oleh
Wilhem Wundt ( Bapak Psikologi ). Menurut Wundt kognitif adalah sebuah proses
aktif dan kreatif yang bertujuan membangun struktur melalui
pengalaman-pengalaman.
Teori konstruktivistik memahami belajar sebagai proses pembentukan
(konstruksi) pengetahuan oleh si belajar itu sendiri. Pengetahuan ada di dalma
diri seseorang yang sedang mengetahui. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu
saja dari otak seseorang guru kepada orang lain (siswa).Ada tiga pandangan
dalam teori perkembangan bahasa anak, yaitu pandangan nativisme, pandangan
behaviorisme, dan pandangan kognitivisme.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, A. (2009). Psikolinguistik:
Kajian Teoretik. Jakarta: PT RINEKA CIPTA.
Dahar, R. W. (2011). Teori-Teori
Belajar & Pembelajaran. Bandung: Erlangga.
Hariyanto, S. &. (2015). Belajar
dan Pembelajaran: Teori dan Konsep Dasar. Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA.
Nara, E. S. (2011). Teori
Belajar dan Pembelajaran. Bogor: Ghalia Indonesia.
Prawira, P. A. (2013). Psikologi
Pendidikan. Yogjakarta: AR-RUUZ Media.
[1]
Suyono&Hariyanto, Belajar dan Pembelajaran (Teori dan Konsep Dasar),
Cet. Ke-5, ( Bandung : PT REMAJA ROSDAKARYA, 2015 ), hlm. 27-28
[2] Eveline
Siregar&Hartini Nara, Teori Belajar dan Pembelajaran, Cet. Ke-2, (
Bogor: Ghalia Indonesia, 2011 ), hlm. 25
[3] Purwa atmaja prawira, Psikologi
Pendidikan, (Jogjakarta: AR-RUUZ Media, 2013), hlm. 260-265.
[4] Suyono&Hariyanto,
Belajar dan Pembelajaran...,..., hlm. 58-60
[5] Eveline
Siregar&Hartini Nara, Teori dan Pembelajaran, ..., hlm. 28-29
[6]
Suyono&Hariyanto, belajar dan Pembelajaran ..., ..., hlm. 71
[7]Eveline
Siregar&Hartini Nara, Teori dan Pembelajarani, ..., hlm. 30
[8]
Suyono&Hariyanto, Belajar dan Pembelajaran ..., ..., hlm. 73-75
[9] Eveline
Siregar&Hartini Nara, Teori Belajar dan Pembelajarn, ..., hlm. 30-31
[10] Ratna Wilis
Dahar, Teori-teori Belajar & Pembelajaran, ( Bandung: Erlangga, 2011
), hlm. 27
[11]
Suyono&Hariyanto, Belajar dan Pembelajaran ..., ..., hlm. 75-77
[12] Eveline
Siregar&Hartini Nara, Teori Belajar dan Pembelajaran, ..., hlm. 31
[13]Suyono&Hariyanto,
Belajar dan Pembelajaran..., ..., hlm. 78-79
[14] Eveline
Siregar&Hartini Nara, Teori Belajar dan Pembelajaran, ..., hlm. 39
[15]
Suyono&Hariyanto, Belajar dan Pembelajaran..., ..., hlm. 105-106
[16] Eveline
Siregar&Hartini Nara, Teori Belajar dan Pembelajaran, ..., hlm.
40-41
[17] Abdul Chaer, Psikolinguistik
Kajian Teoretik, Cet. Ke-2, ( Jakarta: PT RINEKA CIPTA, 2009 ), hlm.
222-224
WELLEH KONCOKU GAWE POSTINGAN APIK NDAAA
BalasHapusMakasih Bagas
BalasHapus