Jumat, 11 November 2016

Teori-Teori Belajar Bahasa Indonesia



BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Berbahasa, dalam arti berkomunikasi, dimulai dengan membuat enkode semantik dan enkode gramatikal di dalam otak pembicara, dilanjutkan dengan membuat enkode fonologi. Dengan kata lain, berbahasa adalah penyampaian pikiran atau perasaan dari orang yang berbicara mengenai masalah yang dihadapi dalam kehidupan budayannya.
Bahasa memang merupakan objek kajian dari berbagai disiplin. Namun, dari disiplin linguistik itu sendiri dapat dicermati adannya berbagai teori atau aliran linguistik yang terkadang berbeda, tumpang tindih, maupun bertentangan.
       Sebenarnya telah banyak teori pembelajaran yang telah diperkirakan oleh para ahli psikologi dalam usaha mereka untuk membantu agar konsep pembelajaran lebih dipahami orang. Jika konsep pembelajaran ini sudah lebih dipahami, maka kaidah-kaidah pembelajaran bahasa maupun pembelajaran mata pelajaran lain akan dapat disempurnakan lagi.
B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Jelaskan Makna Teori
2.      Jelaskan mengenai teori behaviorisme
3.      Jelaskan mengenai teori kognitivisme
4.      Jelaskan mengenai teori konstruktivisme
5.      Jelaskan mengenai teori perkembangan bahasa anak
C.    TUJUAN PENULISAN
1.      Untuk mengetahui makna teori
2.      Untuk mengetahui teori behaviorisme
3.      Untuk mengetahui teori kognitivisme
4.      Untuk mengetahui teori konstruktivisme
5.      Untuk mengetahui teori perkembangan bahasa anak
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Makna Teori
Sebelum berbincang tentang teori-teori pokok belajar, tentunya perlu penyamaan persepsi kita tentang makna teori. Secara ringkas Dorin, Demmin dan Gabel ( 1990 ) dan juga Smith(2009:79) menyatakan bahwa karakteristik teori adalah sebagai berikut: teori adalah sebuah penjelasan umum tentang berbagai pengamatan yang dibuat dengan berjalannya waktu, teori menjelaskan dan meramalkan timbulnya perilaku, suatu teori tidak dapat dibangun diatas keragu-raguan, dan suatu teori dapat diubah, dimodifikasi.
Kerlinger (1989) menyatakan bahwa teori adalah suatu himpunan dari kontruk-kontruk (konsep-konsep), definisi-definisi dan proposisi-proposisi yang saling berkaitan dan menyatakan suatu pandangan yang sistematis tentang suatu fenomena dengan cara menentukan hubungan antar variabel, dengan tujuan menjelaskan fenomena tersebut.
Adapun didefinisikan bahwa teori adalah konsep atau pandangan khusus tentang sesuatu yang harus dikerjakan atau metode untuk melaksanakan sesuatu, suatu sistem yang tersusun dari sejumlah hukum-hukum dan prinsip-prinsip. Dalam konsep pembelajaran, Bruner membedakan antara teori pembelajaran (intruction theory), dan teori belajar (learning theory). Dalam hal ini pembelajaran semakna dengan pengajaran.[1]
B.     Teori Behaviorisme
Menurut teori belajar behaviorisme atau aliran tingkah laku, belajar diartikan sebagai proses perubahan tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respons. Belajar menurut psikologi behavioristik adalah suatu kontrol instrumental yang berasal dari lingkungan. Belajar tidaknya seseorang bergantung pada faktor-faktor kondisional diberikan lingkungan. [2]
Ada beberapa ciri dari rumpun teori ini, yaitu: (1) mengutamakan unsur-unsur atau bagian-bagian kecil, (2) bersifat mekanistis, (3) menekankan peranan lingkungan, (4) mementingkan pembentukan respon, (5) menekankan pentingnya latihan. Pembelajaran behaviorisme bersifat molekuler; artinya lebih menekankan kepada elemen-elemen pembelajaran, memandnag kehidupan individu terdiri dari unsut-unsur seperti halnya molekul.
Adapun ciri-ciri teori belajar behavioristik yang dikemukakan oleh John Locke adalah lebih mementingkan pengaruh lingkungan, mementingkan bagian-bagian, mementingkan peranan reaksi (respons), mementingkan mekanisme terbentuknya hasil belajar. Bertolak dari pandangan John Locke tersebut, pendekatan belajar kemudian menjadi behavioristik elementaritis atau pendekatan belajar behavioristik-empiris. Pendekatan teori belajar behavioristik elementaristis menganggap bahwa jika manusia itu pasif dan dikuasai oleh stimulus-stimulus dari luar yang ada dilingkungan sekitar. Tingkah laku manusia dapat dimanipulasi dan dikendalikan dengan mengendalikan perangsang-perangsang yang ada dalam lingkungannya. Tingkah laku tergantung pada lingkungan. Artinya, jika lingkungan berubah tingkah laku individu juga akan berubah.[3]
Behaviorisme merupakan aliran psikologi yang memandang individu lebih kepada sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek-aspek mental seperti kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam kegiatan belajar. Hal ini dapat dimaklumi karena behaviorisme berkembang melalui suatu penelitian yang melibatkan binatang seperti burung merpati, kucing, tikus dan anjing sebagai objek.
Para ahli behaviorisme berpendapat bahwa belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus (S) dengan respon (R). Meurut teori ini, dalam belajar yang penting adalah adannya input berupa stimulus dan output yang berupa respon.
Secara umum konsep belajar menurut para behavioris dapat dinyatakan dengan gambaran sederhana seperti yang dinyatakan oleh DiVesta dan Thompson (1979:11) sebagai berikut.[4]
Perilaku/pribadi sebelum belajar (pre-learning)
Pengalaman, praktik, latihan (learning experiences)
Perilaku/pribadi sesudah belajar (post-learning)
 



       Beberapa ilmuwan yang termasuk pendiri seklaigus penganut behavoristik antara lain adalah Thorndike, Watson, Hull, Guthrie, dan Skinner. Thorndike mengemukakan bahwa belajar adalah proses interaksi antara stimulus (yang mungkin berupa pikiran, perasaan, atau gerakan) dan respon (yang juga bisa berbentuk pikiran, perasaan,atau gerakan). Dari pengertian ini, wujud tingkah laku tersebut bisa saja dapat diamati ataupun tidak dapat diamati. Teori belajar Thorndike juga disebut sebagai aliran “connectionism”. Menurut Thorndike, belajar dpaat dilakukan dengan mencoba-coba (trial and error).
       Karakter belajar ”trial and error” adalah sebagai berikut.
1.      Adanya motif pada diri seseorang yang mendorong untuk melakukan sesuatu
2.      Seseorang berusaha melakukan berbagai macam respons dalam rangka memenuhi motif-motifnya
3.      Respons-respons yang dirasakan tidak bersesuaian dengan motifnya dihilangkan
4.      Akhirnya seesorang mendapatkan jenis respons yang paling tepat.
Thorndike juga mengemukakan beberapa hukum tentang belajar sebagai berikut.
1.      Hukum Kesiapan (law of readiness)
2.      Hukum Latihan (Law of Exercise )
3.      Hukum Akibat (law of effect) [5]
Sementara itu para ahli psikologi pendidikan sepakat bahwa pembelajaran menurut konsep behaviorisme berlangsung dengan tiga langkah pokok, yaitu:
1.      Tahap akuisisi, tahap perolehan pengetahuan.
2.      Tahap retensi, dalam tahap ini informasi atau keterampilan baru yang dipelajari dipraktikan sehingga siswa dapat mengingatnya selama suatu periode waktu tertentu.
3.      Tahap transfer. [6]
Teori behavioristik ini dalam perkembangannya mendpaat kritik dari para teoretisi dan praktisi pendiidkan. Menurut para pengkritik teori behavioristik ini tidak mampu menjelaskan situais belajar yang komplek, sebab banyak hal di dunia pendiidkan yang tidak dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus respon. Tidak selalu stimulus mampu mempertahankan motivasi belajar seesorang. Kritik juga diarahkan pada kelemahan teoriini yang mengarahkan berfikir linier, konvergen, dan kurang kreatif, termausk masalah shaping (pembentukan) yang cenderung membatasi keleluasaan untuk berfikir dan berimajinasi.[7]
C.    Teori Kognitivisme
Istilah kognitif sendiri walau banyak dipopulerkan oleh Piaget dengan teori perkembangan kognitifnya, sebenarnya telah dikembangkan oleh Wilhem Wundt ( Bapak Psikologi ). Menurut Wundt kognitif adalah sebuah proses aktif dan kreatif yang bertujuan membangun struktur melalui pengalaman-pengalaman. Wundt percaya bahwa pikiran adalah hasil kreasi para siswa yang aktif dan kreatif yang kemudian disimpan di dalam memori (DiVesta, 1987).
Sesungguhnya kognitivisme lahir merupakan respon terhadap behaviorisme, diawali oleh publikasi pada tahun 1929 oleh Bode, seorang ahli psikologi Gestalt. Ia mengkritik behaviorisme karena kebergantungan kepada perilaku yang diamati untuk menjelaskan pembelajaran. Pandangan gestalt tentang belajar dinyatakan dalam konsep pembelajaran yang disebut teori kognitif.
Dua kunci pendekatan kognitif adalah, (i) bahwa sistem ingatan adalah suatu prosesor informasi yang aktif dan terorganisasi, (ii) bahwa pengetahuan awal memerankan peranan penting dalam pembelajaran. Teori kognitif mencermati hal-hal dibalik perilaku untuk menjelaskan pembelajaran berbasis otak (brain-based learning).[8]
Teori ini lebih menakankan proses belajar daripada hasil belajar. Bagi penganut aliran kognitivivtik belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respons. Lebih dari itu belajar adalah melibatkan proses berfikir yang sangat kompleks. Menurut teori kognitivistik, ilmu pengetahuan dibangun dalma diri seesorang melalui proses interaksi yang berkesinambungan dengan lingkungan. Proses ini tidak berjalan terpatah-patah, terpisah-pisah, tapi melalui proses yang mengalir, bersambung-sambung, menyeluruh. Ibarat seesorang yang memainkan musik, tidak hanya memahami not-not balok pada partitur sebagai informasi yang saling lepas dan berdiri sendiri, tapi sebagai suatu kesatuan yang secara utuh mausk ke dalam ikiran dan perasaannya.
Menurut psikologi kognitif, belajar dipandang sebagai suatu usaha untuk mengerti ssuatu. Usaha itu dilakukan secara aktif oleh siswa. Keaktifan itu dapat berupa mencari pengalaman, mencari informasi, memecahkan masalah, mencermati lingkungan, mempraktikkan sesuatu untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Para psikolog kognitif berkeyakinan bahwa pengetahuan yang dimiliki sebelumnya sangat menentukan keberhasilan mempelajari informasi / pengetahuan yang baru.[9]
Penting untuk dipahami bahwa dua pemikiran pokok dari kognitivisme adalah teori pemrosesan informasi dan teori skema.
1.      Teori Pemrosesan Informasi
Para ahli psikologi kognitif mengemukakan suatu kerangka teoretis yang dikenal dengan model pemrosesan informasi. Dalam model ini peristiwa-peristiwa mental diuraikan sebagai transformasi-transformasi informasi dari input (stimulus) ke output (respons).[10]
Menurut pendapat kohnitif, dalam kaitan teori pemrosesan informasi, unsur terpenting dalam proses belajar adalah pengetahuan yang dimiliki setiap individu sesuai dengan situasi belajarnya. Perspektif kognitif membagi jenis pengetahuan menjadi tiga, yaitu pengetahuan deklaratif, prosedural, dan kondisional.
Dalam konteks kognitivisme yang dianggap pengembang pemrosesan informasi justru Robert M. Gagne, yang kemudian dikembangkan oleh George Miller. Menurut Gagne, dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi yang selanjutnya diolah sehingga menghaislkan keluaran hasil belajar.[11]
Salah satu teori belajar yang berasal dari psikologi kognitif adalah teori pemrosesan informasi, yang dikemukakan Gagne. Menurut teori ini, belajar dipandang sebagai proses pengolahan informasi dalam otak manusia. Sedangkan pengolahan otak manusia sendiri dapat dijelaskan sebagai berikut.
a.       Receptor (alat-alat indra) menerima rangsangan dari lingkungan dan mengubahnya menjadi rangsangan neural, memberikan simbol-simbol informasi yang diterimanya dan diteruskan kepala.
b.      Sensory register (penampungan kesan-kesan sensori) yang terdapat pada syaraf pusat, fungsinya menampung kesan-kesan sensori dan mengadakan seleksi, sehingga terbentuk suatu kebulatan perseptual (persepsi selektif).
c.       Short-term memory (memori jangkan pendek) menampung hasil pengolahan perseptual dan menyimpannya.
d.      Long-term memory (memori jangka panjang), menampung haisl pengolahan yang ada di memori jangka pendek.
e.       Response Generator (pencipta respon), menampung informasi yang tersimpan dalam memori jangka panjang dan mengubanya menjadi reaksi jawaban.[12]
Model pengolahan informasi merupakan model dalam teori belajar yang mencoba menjelaskan kerja memori manusia yang meliputi tiga macam sistem penyimpanan ingatan, yaitu :
a.       Memori jangka pendek (sensory memory/short term memory)
b.      Memori kerja (working memory)
c.       Memori jangka panjang (long term memory)
Proses pengolahan informasi berlangsung dalma tiga tahap. Tahap pertama yaitu pengolahan informasi dalam sensor pencatat (sensory register, sensory memory, sensory registry), kmeudian diproses dalam memori jangka pendek, selanjutnya ditransfer menuju memori jangka panjang untuk disimpan dan sewaktu diperlukan dipanggil kembali.
2.      Teori Skema
Skema adalah suatuproses atau cara mengorganisasikan dan merespon berbagai pengalaman belajar. Dengan kata lain, skema adalah suatu pola sistematis dari tindakan, perilaku, pikiran, dan strategi pemecahan masalah yang memberikan suatu kerangka pemikiran dalam menghadapi berbagai tantangan dan berbagai jenis situasi. Skemata menyatakan pengetahuan tentang konsep, yaitu objek dan hubungannya dengan: objek yang lain, dengan situasi, dengan kejadina-kejadian, urutan kejadian, tindakan, dan serangkaian tindakan.
Terkait dengan efek skema (schema ffects) dalam pembelajaran, serta kaitan teori skema dengan teori pengolahan informasi, Gagne dan juga Dick, dalam Hilgard dan Brower (1975) dan Brewer (1987) menyatakan:
a.       Informasi baru yang dipelajari disimpan dengan menjalinnya dalam suatu skema yang pembentukannya dilandasi informasi dari pembelajaran terdahulu
b.      Pengingkatan terhadap informasi verbal yang lama dan telah dipelajari kuat sekali dipengaruhi oleh skema ini, sehingga proses pengingatan adalah suatu kegiatan konstruktif
c.       Skema tidak hanya membantu retensi, pengingatan, terhadap materi baru dnegan cara menyediakan bingkai kerja untuk penyimpanannya, tetapi juga mengubah informasi baru dengan cara membuatnya coock dengan harapan-harapan yang dibangun di dalam skema
d.      Skema diorganisasikan sebagai komponen-komponen keterampilan intelektual
e.       Secara ideal pembelajar akan mampu mengolah informasi bari dengan cara mengevaluasi atau melakukan modifikasi terhadap skema miliknya. [13]
D.    Teori Kontruktivisme
Teori konstruktivistik memahami belajar sebagai proses pembentukan (konstruksi) pengetahuan oleh si belajar itu sendiri. Pengetahuan ada di dalma diri seseorang yang sedang mengetahui. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak seseorang guru kepada orang lain (siswa). [14]
Konstruktivisme melandasi pemikiran bahwa pengetahuan bukanlah sesuatu yang given dari alam karena hasil kontak manusia dengan alam, tetapi pengetahuan merupakan hasil konstruksi (bentukan) aktif manusia itu sendiri. Pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari kenyataan (realitas). Pengetahuan bukanlah gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan selalu merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan seseorang. Ia membentuk skema, kategori, konsep dan struktur pengetahuan yang diperoleh untuk pengetahuan (Bettencourt, 1989 dalam Suparno, 1997:18).
Asumsi-asumsi dasar dari konstruktivisme seperti yang diungkapkan oleh Merril (1991) adalah sebagai berikut:
1.      Pengetahuan dikonstruksikan melalui pengalaman
2.      Belajar adalah penafsiran personal tentang dunia nyata
3.      Belajar adalah sebuah proses aktif di mana makna dikembangkan berlandaskan pengalaman
4.      Pertumbuhan konseptual berasal dari negosiasi makna, saling berbagi tentang perspektif ganda dan pengubahan representasi mental melalui pembelajaran kolaboratif
5.      Belajar dapat dilakukan dalam setting nyata, ujian dapat diintegrasikan dengan tugas-tugas dan tidak merupakan aktivitas yang terpisah (penilaian autentik).[15]
Glaserfeld, Bettencourt (1989) dan Matthews (1994), mengemukakan bahwa pengetahuan yang dimiliki seseorang merupakan hasil konstruksi (bentukan) orang itu sendiri. Sementara Piaget (1971), mengemukakan bahwa pengetahuan merupakan ciptaan manusia yang dikonstruksikan dari pengalamannya, proses pembentukan berjalan terus menerus dan setiap kali terjadi rekonstruksi karena adannya pemahaman yang baru.
Untuk memahami lebih dalam tentang aliran konstruktivistik ini, ada baiknya dikemukakan tentang ciri-ciri belajar berbasis konstruktivistik. Ciri-ciri tersebut pernah dikemukakan oleh Driver dan Oldham (1994), ciri-ciri yang dimaksud adalah orientasi, elisitasi, restrukturasi ide, penggunaan ide baru dalam berbagai situasi, review.
Von Glaserfeld (dalam paul, 1996), mengemukakan bahwa ada beberapa kemampuan yang diperlukan dalam proses mengkontruksi pengetahuan, yaitu: (i) kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman, (ii) kemampuan membandingkan dan mengambil keputusan mengenai persamaan dan perbedaan tentang sesuatu hal, dan (iii) kemampuan untuk lebih menyukai suatu pengalaman yang satu dari pada yang lain (selective conscience). Sementara faktor-faktor yang membatasi proses konstruksi pengetahuan adalah hasil konstruksi yang telah dimiliki seseorang, domain pengalaman seesorang, dan jaringan struktur kognitif seseorang.
Menurut pandangan konstruktivisme, belajar merupakan suatu proses pembentukan pengetahuan. Pembentukan ini harus dilakukan oleh siswa. Ia harus aktif melakukan kegiatan, aktif berpikir, menyusun konsep dan memberi makna tentang hal-hal yang sedang dipelajari, tetapi yang paling menentukan terwujudnya gejala belajar adalah niat belajar siswa itu sendiri, sementara peranan guru dalam belajar konstruksivistik berperan membantu agar proses pengkonstruksian pengetahuan oleh siswa berjalan lancar. Guru tidak menstransferkan pengetahuan yang telah dimilikinya, melainkan membntu siswa untuk membentuk pengetahuannya sendiri dan dituntut untuk lebih memahami jalan pikiran atau cara pandang siswa dalam belajar.[16]
E.     Teori Perkembangan Bahasa Anak
1.      Pandangan Nativisme
Nativisme berpendapat bahwa selama proses memperolehan bahasa pertama, kanak-kanak (manusia) sedikit demi sedikit membuka kemampuan lingualnya yang secara genetis telah diprogramkan. Pandangan ini tidak menganggap lingkungan punya pengaruh dalam pemerolehan bahasa, melainkan menganggap bahwa bahasa merupaakan pemberian biologis, sejalan,dengan yang disebut “hipotesis pemberian alam”.
Kaum nativis berpendapat bahwa bahasa itu terlalu kompleks dan rumit, sehingga mustahil dapat dipelajari dalam waktu singkat melalui metode seperti “peniruan”. Jadi pasti ada beberapa aspek penting mengenai sistem bahasa yang sudah ada pada manusia secara alamiah.
2.      Pandangan Behaviorisme
Kaum behavioris menekankan bahwa proses pemerolehan bahasa pertama dikendalikan dari luar diri si anak, yaitu oleh rangsangan yang diberikan melalui lingkungan. Istilah bahasa bagi kaum behavioris dianggap kurang tepat karena istilah bahasa itu menyiratkan suatu wujud, sesuatu yang dimiliki  atau digunakan, dan bukan sesuatu yang dilakukan. Padahal bahasa merupakan salah satu perilaku, diantara perilaku-perilaku manusia lainya. Oleh karena itu, mereka lebih suka menggunakan istilah perilaku verbal, agar tampak lebih mirip dengan perilaku lain yang harus dipelajari.
3.      Pandangan Kognitivisme
Jean Piaget (1954) menyatakan bahwa bahasa itu bukanlah suatu alamiah yang terpisah, melainkan salah satu di antara beberapa kemampuan yang berasal dari kematangan kogntitif. Bahasa distrukturi oleh nalar; maka perkembangan bahasa harus berlandas pada perubahan yang lebih mendasar dan lebih umum di dalam kognisi. Jadi, urut-urutan perkembangan kognitif menentukan urutan perkembangan bahasa.
Kalau Chomsky berpendapat bahwa lingkungan tidak besar pengaruhnya pada proses pematangan bahasa, maka Piaget berpendapat bahwa lingkungan juga tidak besar pengaruhnya terhadap perkembangan intelektual anak. Perubahan atau perkembangan intelektual anak sangat tergantung pada keterlibatan anak secara aktif dengan lingkungannya.
Perkembangan bahasa, baik menurut pandanagn nativisme, behavirisme, dan kognitivisme, tidak terlepas atau berkaitan dengan perkembangan-perkembangan lain yang dialami anak.[17]



















BAB III
KESIMPULAN

Adapun didefinisikan bahwa teori adalah konsep atau pandangan khusus tentang sesuatu yang harus dikerjakan atau metode untuk melaksanakan sesuatu, suatu sistem yang tersusun dari sejumlah hukum-hukum dan prinsip-prinsip.
Menurut teori belajar behaviorisme atau aliran tingkah laku, belajar diartikan sebagai proses perubahan tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respons. Belajar menurut psikologi behavioristik adalah suatu kontrol instrumental yang berasal dari lingkungan.
Istilah kognitif sendiri walau banyak dipopulerkan oleh Piaget dengan teori perkembangan kognitifnya, sebenarnya telah dikembangkan oleh Wilhem Wundt ( Bapak Psikologi ). Menurut Wundt kognitif adalah sebuah proses aktif dan kreatif yang bertujuan membangun struktur melalui pengalaman-pengalaman.
Teori konstruktivistik memahami belajar sebagai proses pembentukan (konstruksi) pengetahuan oleh si belajar itu sendiri. Pengetahuan ada di dalma diri seseorang yang sedang mengetahui. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak seseorang guru kepada orang lain (siswa).Ada tiga pandangan dalam teori perkembangan bahasa anak, yaitu pandangan nativisme, pandangan behaviorisme, dan pandangan kognitivisme.









DAFTAR PUSTAKA

 

Chaer, A. (2009). Psikolinguistik: Kajian Teoretik. Jakarta: PT RINEKA CIPTA.
Dahar, R. W. (2011). Teori-Teori Belajar & Pembelajaran. Bandung: Erlangga.
Hariyanto, S. &. (2015). Belajar dan Pembelajaran: Teori dan Konsep Dasar. Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA.
Nara, E. S. (2011). Teori Belajar dan Pembelajaran. Bogor: Ghalia Indonesia.
Prawira, P. A. (2013). Psikologi Pendidikan. Yogjakarta: AR-RUUZ Media.





[1] Suyono&Hariyanto, Belajar dan Pembelajaran (Teori dan Konsep Dasar), Cet. Ke-5, ( Bandung : PT REMAJA ROSDAKARYA, 2015 ), hlm. 27-28
[2] Eveline Siregar&Hartini Nara, Teori Belajar dan Pembelajaran, Cet. Ke-2, ( Bogor: Ghalia Indonesia, 2011 ), hlm. 25
[3] Purwa atmaja prawira, Psikologi Pendidikan, (Jogjakarta: AR-RUUZ Media, 2013), hlm.  260-265.
[4] Suyono&Hariyanto, Belajar dan Pembelajaran...,..., hlm. 58-60
[5] Eveline Siregar&Hartini Nara, Teori dan Pembelajaran, ..., hlm. 28-29
[6] Suyono&Hariyanto, belajar dan Pembelajaran ..., ..., hlm. 71
[7]Eveline Siregar&Hartini Nara, Teori dan Pembelajarani, ..., hlm. 30
[8] Suyono&Hariyanto, Belajar dan Pembelajaran ..., ..., hlm. 73-75
[9] Eveline Siregar&Hartini Nara, Teori Belajar dan Pembelajarn, ..., hlm. 30-31
[10] Ratna Wilis Dahar, Teori-teori Belajar & Pembelajaran, ( Bandung: Erlangga, 2011 ), hlm. 27
[11] Suyono&Hariyanto, Belajar dan Pembelajaran ..., ..., hlm. 75-77
[12] Eveline Siregar&Hartini Nara, Teori Belajar dan Pembelajaran, ..., hlm. 31
[13]Suyono&Hariyanto, Belajar dan Pembelajaran..., ..., hlm. 78-79
[14] Eveline Siregar&Hartini Nara, Teori Belajar dan Pembelajaran, ..., hlm. 39
[15] Suyono&Hariyanto, Belajar dan Pembelajaran..., ..., hlm. 105-106
[16] Eveline Siregar&Hartini Nara, Teori Belajar dan Pembelajaran, ..., hlm. 40-41
[17] Abdul Chaer, Psikolinguistik Kajian Teoretik, Cet. Ke-2, ( Jakarta: PT RINEKA CIPTA, 2009 ), hlm. 222-224

2 komentar: